Biografi Bagagarsyah dari Pagaruyung

Pada tahun 1815, kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang kerajaan Pagaruyung, menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi.[5] Sultan Tunggal Alam Bagagar, waktu itu telah berumur 26 tahun dan berada di Padang.[1]

Pada tanggal 10 Februari 1821 bersama 19 orang pemuka adat lainnya ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri.[6] Beberapa sejarahwan menganggap bahwa Sultan Tunggal Alam Bagagar sebetulnya tidak berhak melakukan perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung,[7] yang kemudian akibat dari perjanjian ini, dijadikan oleh Belanda sebagai tanda penyerahan kedaulatan Pagaruyung.[8] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, Sultan Tunggal Alam Bagagar diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda hanya sebagai Regent Tanah Datar, walaupun pada sisi lain ia menganggap dirinya sebagai Raja Alam, namun pemerintah Hindia Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya atas wilayah kerajaan Pagaruyung itu sendiri.[2]

Pada tanggal 2 Mei 1833, Sultan Tunggal Alam Bagagar ditangkap oleh pasukan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Selanjutnya dibuang ke Batavia (kini Jakarta) sampai akhir hayatnya.[7] Ia dimakamkan di pekuburan Mangga Dua, kemudian pada tahun 1975 atas izin pemerintah Indonesia kuburannya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan.[1]